Kisah Pak Tua: Seputar Premanisme, Kahar Muzakkar, Ibu dan Langit

Ketika pertama beradu pandang, kesan pertama yang saya tangkap adalah ketulusan. Meski dilapisi sedikit katarak, matanya pun ikut tersenyum mengikuti bibirnya. Bahkan - mungkin terkesan sedikit berlebihan - seluruh jiwa dan raganya ikut tersenyum kepadaku. Jabatan tangannya kuat namun hangat, seolah-olah menandakan pengalaman luasnya bergaul dengan berbagai macam kalangan. Diam-diam saya bersyukur atas rahmat-Nya untuk perkenalan ramah pada suatu pagi yang mendung ini.

Saya mulai menebak-nebak. Peci ala Persia, kemeja batik biru lengan panjang, celana panjang bermotif kotak-kotak, sepatu fantofel berwarna cokelat membuat saya bingung untuk mencari gambaran tentang Pak Tua ini. Biasanya orang yang memakai peci ala Persia, bajunya tidak jauh-jauh dari setelan gamis, celana panjang sebatas mata kaki dan alas kaki yang tidak menyulitkan ketika berwudhu. Atau bila memakai Batik pada hari jum'at seperti sekarang ini biasanya dia seorang PNS atau Karyawan Swasta. Tapi saya ragu dengan dua gambaran tersebut. Pak Tua ini pasti unik, bisik hatiku.

"Boleh saya duduk di situ?" tanyanya sambil mengambil teh dan sepiring kue dari mejanya.
"Saya yang pindah ke situ, pak." kataku merasa tidak enak.
"Tidak usah. Santai saja." balasnya menolak.

Sebuah kesan lagi untuk saya: kerendahan hati. Harusnya saya yang berpindah tempat duduk ke meja beliau. Tapi pak tua ini tanpa ragu dan tabu justru melakukannya. 

"Kamu sudah sering ke sini?" tanyanya setelah bergabung di mejaku.
"Lumayan sering, pak."
"Kalau pagi begini, warung kopi ini masih tenang. Tapi di atas jam sepuluh biasanya sangat ramai, semua meja sudah terisi penuh." jelasnya.

Beliau pun bercerita tentang kebiasaannya tiap jum'at mengunjungi warung kopi ini karena ingin bertemu dengan teman-teman lama dan shalat di mesjid yang terletak tidak jauh dari tempat ini. Biasanya sebelum shalat dimulai, mereka akan mengikuti pengajian disana. Rutinitas tersebut telah dilakoninya sejak tahun 1992 - ketika apa yang diistilahkan sebagai titik balik dalam hidup beliau baru dimulai. 

Saya jadi penasaran dengan istilah "titik balik" itu dan mencoba menanyakannya. Awalnya, beliau terkesan menghindar untuk menjelaskan dan sedikit menyesali keteledorannya telah menyebutkan istilah itu. Namun setelah sedikit memancing dan membuat beliau tertawa lebar, akhirnya kisah itu pun meluncur juga.

"Saya dulu anak jalanan. Mungkin istilah sekarang sering disebut preman." ujar beliau pelan.

Cukup kaget dan ragu juga mendengarkan penuturan awal beliau. Dalam keriput kulit dan tubuh tua, tak nampak tanda-tanda masa muda yang begitu kelam. Tapi dari kisah yang beliau paparkan, saya kemudian jadi ragu pada keraguanku sendiri. Beberapa peristiwa kriminal dan nama-nama preman - yang diakui akrab dengan beliau - serta pernah saya dengar waktu kecil, begitu detail diceritakan. Bahkan lebih detail dari yang pernah saya dengar. 

Beliau juga menceritakan tentang niat awal membela orang lemah yang akhirnya menyeret beliau ke dalam pusaran dunia hitam: alkohol, obat-obatan terlarang, prostitusi atau pun premanisme. 

"Banyak ketidaksengajaan dalam hidup ini yang bisa merubah alur hidup kita. Hati-hati." ucap beliau kepadaku.

Beliau kemudian memperlihatkan bekas-bekas luka pada sekujur tubuhnya yang diistilahkannya sebagai "kenang-kenangan" masa muda. Giginya yang tanggal dan tinggal beberapa buah akibat perkelahian dalam "perebutan lahan" pun dipertontonkan kepadaku. Dalam "karir" beliau, telah dua kali LP menjadi tempat persinggahan akibat kejahatan yang dilakukan.

"Hanya ada dua pilihan ketika keluar dari penjara; bertaubat atau tidak. Dan saya tidak memilih yang pertama."
Ternyata banyak kejutan dari Pak Tua ini. Entah karena pancingan pertanyaanku yang mengena atau terlanjur semangat bercerita tentang masa lalu, kisah beliau kemudian sampai pada masa-masa gerombolan pasca kemerdekaan - sebelum bab dunia hitam tadi dilakoni. Diam-diam saya kagum pada ingatan beliau. Apa yang saya pelajari di sejarah saat sekolah dulu, sekali lagi, dituturkan dengan begitu detail.  Kisah tentang Kahar Muzakkar, PRRI, DI/TII, Permesta, Gerwais, Brigade Hasanuddin atau Andi Azis mengalir dengan begitu sistematis. Saya seperti menghadapi buku sejarah versi audio. Beberapa malah tidak (belum) pernah saya baca.

"Meski tidak bergabung, saya tetap menaruh simpati dan sekaligus kagum pada Kahar Muzakkar. Dia sama sekali bukan pemberontak bangsa bagi saya. Dia hanya melawan ketidakbecusan yang terjadi dalam negara yang dulu kemerdekaannya ikut diperjuangkannya. Ada tiga alasan utama mengapa Kahar angkat senjata. Pertama, dia ingin semua anak buahnya yang tergabung dalam Brigade Hasanuddin bisa langsung diterima sebagai anggota TNI karena telah ikut berjuang untuk meraih kemerdekaan Republik. Kedua, dia tidak setuju pada keputusan pengangkatan beberapa bekas tentara KNIL untuk jabatan penting di tubuh TNI saat itu. Alasan ketiga, dan mungkin ini yang paling mendasar, adalah ketidaksetujuannya terhadap kecenderungan Sukarno menerima ideologi komunis. Pikir sendiri saja, apakah alasan itu bisa digolongkan sebagai pemberontakan terhadap bangsa?" ulas beliau panjang lebar.

Saya terhenyak mendengar ini. Setidaknya, kisah ini cukup berbeda dari buku-buku yang pernah saya baca.

"Akhir 50-an saya ikut bersama tentara untuk menumpas Permesta. Tapi ketika sampai di Manado, saya jadi tahu bahwa ini, sekali lagi, bukan pemberontakan. Mereka hanya menuntut wewenang yang lebih besar dalam mengelola daerah dan juga sekaligus menolak komunisme di bumi pertiwi, Permesta bagi saya juga bukan pemberontakan. Terbukti tuntutan pertama mereka akhirnya sekarang diterapkan dalam konsep desentralisasi di seluruh wilayah Indonesia."

Sesaat sebelum operasi Permesta usai, beliau dipulangkan karena orangtuanya sakit. Beliau juga tidak memilih masuk tentara setelah itu. 

"Untuk apa? Waktu itu saya tidak suka dikomando, lebih suka memberi komando," ucapnya sambil tertawa.

"Tapi ego itu juga yang membuat saya seperti ini. Teman-teman yang dulu ikut gabung dengan TNI rata-rata berpangkat minimal perwira. Tapi saya bukan menyesal karena itu."

Kisah selanjutnya cukup dramatis bagi saya. Betapa perjalanan hidup Pak Tua ini campur aduk seperti permen Nano-Nano. Saking jauhnya beliau masuk ke dunia hitam, sampai-sampai melupakan statusnya sebagai seorang anak. Uang tiket yang dikirim oleh kakanya untuk  menjenguk ibunya yang sedang sakit dihabiskannya di meja judi. Meski saudara-saudara beliau mengabarkan bahwa ibunya telah memaafkan semua perbuatannya, namun beliau tetap sangat menyesal.

"Satu-satunya penyesalan yang masih terbawa sampai sekarang adalah hal itu. Saya tidak sempat meminta maaf kepada ibu saya sebelum beliau wafat." kata beliau pelan.

Meski tidak ada air mata yang menetes, saya merasakan kekosongan yang amat sangat dari seorang anak dalam kalimat tersebut. Tiba-tiba saya merasa lebih beruntung karena tidak mengalami hal tersebut. 

"Suatu pagi setelah titik balik itu, saya menatap langit. Saya katakan, kalau memang Engkau ada di atas sana, saya hanya ingin Engkau tahu satu hal; jangan ambil nyawaku sebelum saya merlihat dan bersimpuh di kubur ibu saya." lanjut beliau.

Keinginan satu-satunya yang sangat menyentuh. Mungkin saja hal ini pula yang membuat beliau masih diberi hidup oleh sang Penguasa Hidup. Pak tua ini hanya mau menjenguk makam ibunya dengan uang yang dikumpulkan melalui jerih payahnya sendiri.  Padahal dengan delapan orang anak yang sudah memiliki pekerjaan (dari sepuluh orang anak), hal tersebut bukanlah sesuatu yang sulit. Tapi semua menjadi tidak mudah karena beliau tidak mau menggunakan uang  pemberian orang lain.

"Awal tahun 2012 saya sudah bisa terbang untuk melihat makam ibu. Uang saya sudah cukup. Anak-anak dan cucu cukup mengerti keinginan saya, jadi tidak satu pun yang memberi. Mereka cuma membantu untuk keperluan hidup sehari-hari saja. Doakan, ya?" pinta beliau.
 "Pasti, pak," jawabku spontan.

Mulut tuanya mengunyah kue terakhir di piringnya. Saya menawarkan untuk menambah teh dan kue. Beliau menolak sambil menyalakan rokok.

"Santai saja," ujar beliau dengan rileks
"Ngomong-ngomong, kamu asal mana?"

Beliau terkejut ketika saya menyebutkan identitasku dan asal daerah kedua orang tuaku. dengan antusias beliau bertanya lebih detail. Saya pun menjadi antusias dalam menjawab. Dan setelah mengurai satu-satu dengan pertanyaan "Kenal ini? Kenal itu?", akhirnya rangkaian itu tersimpulkan juga.
"Subhanallah yang sudah mempertemukan kita di tempat ini. Pantas saja sejak awal saya sudah merasa akrab dengan kamu." ujar beliau takjub.

Saya lebih takjub lagi. Ternyata inilah orang yang pernah diceritakan oleh kakak sepupu saya dalam konteks peran antagonis dalam keluarga besar dan tidak layak untuk dicontoh. Bertahun-tahun benak saya tertanam oleh doktrin itu. Waktu tiba-tiba menjadi pendek dengan hadirnya bayangan kakak sepupu saya dulu. Bumi juga tiba-tiba jadi kecil dengan kehadiran sosok tua berumur 71 tahun di depanku kini. Sebuah triangle kisah telah terbentuk pada perjumpaan di warung kopi ini.

Saya tentu tidak akan mencontoh kehidupan masa lalu Pak Tua ini, tapi tidak ada salahnya mencontoh kehidupan beliau setelah titik balik tersebut. Dan pelukan hangat di pundakku telah mengakhiri pertemuan kami, sekaligus mengawali perjumpaanku dengan hikmah dari perkenalan ini.

Jalan Roda, 30 Desember 2011

by: Kata Dunia, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar